Rabu, 23 November 2011

sejarah dunia

Menggugat Pembantaian Rawagede

Sekitar 431 warga Rawagede dibantai Belanda pada 1947. Mereka berhak sebagai korban PD II?

VIVAnews –  Dia sudah cukup renta. Pada usia 87 tahun, dengan geligi tandas dan langkah agak limbung, Saih bin Sakam menyimpan kenangan buruk itu. Dia bersyukur, selamat dari pembantaian keji Belanda di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, 64 tahun silam. Tapi Saih tak pernah lupa.
Dengan sisa kekuatannya—bahkan untuk memakai sepatu dia harus dibantu orang lain, Saih pergi ke Belanda pada November tahun lalu. Junito Drias dari Radio Nederland, sempat merekam lawatan Saih ke negeri yang pernah merampas hidup keluarganya itu. “Saya tak dendam,” ujar Saih. Wajahnya penuh kerut. Pecinya sedikit melorot.
Mengenang kembali proklamasi Republik Indonesia 66 tahun silam, tentu kisah Saih ini patut kembali disimak. Dia adalah saksi dari pembantaian keji, sebuah kejahatan perang Belanda di Indonesia: 431 warga Rawagede tumpas. Termasuk ayah, dan kawan-kawan Saih.
Sebagai saksi tragedi Rawagede, Saih ingin menuntaskan hal mengganjal itu dalam sisa hidupnya. “Daripada kepikiran terus, yang penting Belanda minta maaf kepada Indonesia,” ujar Saih dalam rekaman video Radio Nederland itu.
Kisah itu bermula 9 Desember 1947, tatkala Belanda melancarkan agresi ke republik Indonesia yang masih muda. Sekitar 300 serdadu Belanda menyerbu Rawagede, kampung petani miskin yang jadi basis gerilyawan republik.
Dipimpin Mayor Alphons Wijnen, ratusan serdadu Belanda menyisir desa itu. Tak satu pun jejak gerilyawan ditemukan. Warga juga bungkam. Murka oleh pembangkangan itu, Wijnen memaksa semua lelaki di atas 15 tahun berkumpul di lapangan. Matahari belum tinggi saat itu. Warga pun berbaris di lapangan.
Para serdadu itu tiba-tiba mengokang senjata. Lalu, trat-tat-trat-tat. Peluru melesat, ratusan warga roboh bersimbah darah. Ada yang mencoba lari, tapi peluru laknat itu lebih cepat ketimbang kaki-kaki kurus para petani.
Saih bin Sakam lolos dari maut. Dia hanya terluka di punggung, dan tangan. Kepada Radio Nederland, Saih menunjukkan bekas luka tembak itu. “Diberondong peluru di badan seperti ini”, ujar Saih. Di punggung, ada bekas lingkaran hitam. “Belum puas kali, maka saya ditembak lagi di bagian tangan,” ujar Saih.
Menurut dia, korban pembantaian hari itu hanya kaum lelaki. Kebanyakan pemuda. Para perempuan dan anak-anak, selamat. (Baca detil kisah pembantaian di Yang Terserak di Rawagede)
Mencari Lukas

Apa yang dicari Belanda di Rawagede?  “Mereka mencari Kapten Lukas Kustario,” ujar sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Baskara Wardaya kepada VIVAnews, pekan lalu di Yogyakarta. Lukas adalah  komandan kompi Siliwangi .
Dijuluki “Begundal Karawang”, Lukas memang orang paling diuber Belanda.  Ulahnya memusingkan. Dia kerap menyerang pos militer. Dia memimpin pasukannya membajak kereta api, menggasak senjata, dan amunisi kumpeni.
Rawagede sendiri adalah jalur lintasan para gerilyawan. Berbagai laskar rakyat singgah di sana. Juga para begundal dan perampok.” Lukas adalah target Belanda,” kata Baskara. Rakyat Rawagede sendiri membela gerilyawan itu.
Itu sebabnya, kata Baskara, mereka bungkam. Karena bungkam itu, Belanda marah.  “431 orang dibunuh. Ada beberapa yang lolos, dan pura-pura mati.  Mereka lalu menceritakan peristiwa itu,” kata Baskara menambahkan.
Saih pergi ke Belanda atas undangan Komite Kehormatan Utang Belanda. Dia sebetulnya ingin bertemu Ratu Belanda saat ini, Beatrix. “Kepinginnya sih Ratu bertemu, dan minta maaf. Tapi yang penting, berjabat tangan. Kita kan juga berterima kasih, dan saya memaafkan,” kata Saih. Sayang, untuk alasan yang kurang jelas, Ratu Beatrix  menolak bertemu Saih.
Selain Ratu Beatrix, Saih juga ditampik oleh parlemen Belanda dari Komisi Luar Negeri. Tak jelas juga alasannya.  Namun ada yang melegakan: Saih boleh bercerita kepada anak-anak sekolah di Kota Gronigen, Belanda Timur Laut.
Kepada anak-anak SD,  Saih bercerita bahwa dia tak akan menggugat tentara Belanda. Dia ingin Belanda minta maaf kepada Indonesia, dan membayar ganti rugi. Para pelajar itu terperanjat. Mereka tak menyangka Belanda pernah sekejam itu.
Kadaluwarsa?

Tapi, belum lagi sampai cita-citanya itu, Saih bin Sakam meninggal pada 7 Mei 2011. Dialah korban terakhir tragedi Rawagede yang masih hidup sampai abad ke-21. Dia pergi, justru saat Belanda mulai membuka kasus itu di pengadilan.
Para kerabat korban pembantaian itu terus melaju (Lihat kronologinya di Infografik: Banjir Darah di Rawagede). Pada 20 Juni 2011, mereka menuntut Belanda, melalui pengadilan di Den Haag. Tujuannya, Belanda harus mengakui adanya pembantaian, meminta maaf, dan memberi ganti rugi.
Meski tak disuarakan resmi, Pemerintah Indonesia kabarnya mendukung langkah korban pembantaian Rawagede itu.
Dukungan pemerintah itu diungkapkan Ketua Yayasan Rawagede Sukarman kepada VIVAnews, di Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang pekan lalu. Sukarman adalah cucu salah satu korban. Ia telah bolak-balik ke Den Haag mengikuti proses pengadilan kasus Rawagede di Pengadilan Belanda.
Menurut Sukarman, sebelum menggugat ke Belanda 15 Agustus 2008 lalu, mereka meminta izin ke Komisi I dan Komisi III DPR, serta ke MPR. “Kami juga diundang ke Departemen Luar Negeri, dan langsung dihubungkan ke Biro Eropa. Mereka katakan, lanjutkan tuntutan itu,” ujar Sukarman.
Selama proses gugatan itu pun, Sukarman dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. Sidang kasus itu dibuka 20 Juni 2011. Penggugat adalah sanak saudara korban Rawagede. Tergugat  adalah pemerintah Belanda.
Perang argumen pun muncul di meja hijau. Pengacara pengugat adalah Liesbeth Zegveld. Dia aktif membela kasus hak-hak azasi manusia internasional, termasuk kejahatan kemanusiaan di Srebrenica, Bosnia.
Di sidang itu, Zegveld bercerita seperti halnya kesaksian Saih bin Sakam. Komite Utang Kehormatan Belanda juga menuntut ganti rugi bagi korban Rawagede. Ada juga sengketa soal jumlah korban. Penggugat mengatakan yang tewas 431 orang. Belanda dalam Nota Ekses 1969, mengatakan hanya 150 orang.
Selain itu, fakta baru diajukan oleh penggugat, berupa dokumen korespondensi. Disebutkan, para petinggi Belanda tak meragukan Wijnen bersalah. Jenderal Simon Spoor menulis surat kepada jaksa agung, bahwa Pengadilan Militer akan menghukum Mayor Wijnen. Tapi, Jaksa Agung tak jadi menggugat Wijnen. Alasannya, kasus itu ‘tak ada lagi campur tangan, dan perhatian asing’.
Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio Nederland.
Sebelumnya, pengacara Belanda GJH Houtzagers mengatakan kasus pembunuhan oleh serdadu Belanda itu sudah kadaluwarsa. Lagipula,  korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, telah meninggal Mei lalu. Houtzagers juga memberi argumen lain. Katanya, ada kesepakatan Belanda dan Indonesia pada 1966. Isinya, kedua pihak setuju mengakhiri sengketa keuangan.
Houtzagers mengingatkan Indonesia dan Belanda kini bekerjasama dalam banyak hal. “Belanda membantu tak saja desa Rawagede, tapi juga wilayah lain. Kedua negara memandang ke depan, membangun masa depan bersama, dan bukan melihat masa lalu,” kata Houtzagers.
Pintu ke kasus lain
Yang menarik, kata Zegveld, jika kasus Rawagede menang di pengadilan. Dampaknya positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.
“Kami ingin memberi tahu kepada masyarakat Belanda kejadian sebenarnya. Ini bukan kasus Rawagede saja. Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya”, kata Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda.
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Batara R Hutagalung sepakat. Dia mengatakan banyak aksi pembantaian Belanda sekitar 1945-1950 di Indonesia yang tak terungkap di dunia internasional. Ironisnya, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) justru bermarkas di Den Haag, Belanda.
Batara yakin, jika Belanda konsisten, maka kasus ini bisa menang. Dia mengajukan contoh. Dua tahun lalu, ada bekas tentara Jerman dijatuhi hukuman seumur hidup. Dia membantai empat warga sipil di Belanda semasa perang. “Dia dihukum karena membunuh empat orang. Maka logikanya, yang membantai puluhan ribu bisa dimajukan ke pengadilan internasional. Itu sebabnya kami mengajukan kasus Rawagede,” kata Batara kepada VIVAnews.
Berhasilkah gugatan dari Rawagede? Hakim Pengadilan Den Haag mengatakan masih mempelajari pleidoi kedua pihak. Mereka segera memberi putusan dalam waktu 90 hari, atau pertengahan September 2011 ini.(np)
Laporan Erick Tanjung |Yogyakarta

• VIVAnews

Hashasin, Namanya Melegenda di Timur Tengah

Jakarta – Majalah Times memasukkan Hashishin dalam 10 pasukan elite sepanjang zaman. Siapa mereka? Bagaimana sepak terjangnya dan benarkan mereka adalah pengisap ganja atau hashis?

Hashishin atau hashasin, namanya melegenda di Timur Tengah pada tahun 1092-1265. Sejarah soal kelompok ini bercampur dengan dongeng dan mitos. Namun yang pasti, kelompok ini merupakan pembunuh yang sangat terlatih. Memiliki kemampuan tinggi untuk meneror dan menghabisi lawan-lawan mereka.
Seorang tokoh sekte Islamiyah, Hasan-i-Sabbah lah yang mendirikan gerakan ini. Hassan sangat populer di kalangan Sekte Islamiyah, dia memiliki banyak pengikut. Dia mendirikan Hashasin untuk melawan lawan politiknya, terutama dinasti Saljuk yang beraliran Sunni.
Namun karena saat itu Perang Salib melanda Timur Tengah, kemudian para pengikut Hassan ini ikut memerangi ksatria salib dari Eropa.
Kata Hashisin, merupakan sindiran yang diberikan lawan-lawannya. Hashis, berarti pengisap ganja. Mitos menyebutkan mereka adalah pemabuk dan pengisap ganja. Namun sebenarnya, nama yang benar adalah Hashasin, yang berasal dari kata Asasiyun, yaitu orang yang berpegang teguh pada iman.
Ada tiga urutan dalam organisasi Hashasin, yang paling atas disebut Muhibbin. Golongan ini adalah yang paling setia pada Hassan. Merekalah pembunuh yang paling terlatih. Mampu bergerak cepat, menguasai berbagai bahasa dan mampu menggunakan berbagai senjata. Tapi keahlian yang paling ditakuti adalah menggunakan belati pendek melengkung. Ratusan korban mereka tewas dengan belati tertancap di dada.
Hashasin membangun jaringan mereka di seluruh Timur Tengah. Bergerak di dalam sel-sel bawah tanah, misi mereka penuh kerahasian. Kehadiran mereka menghadirkan teror bagi musuh-musuhnya. Mereka bisa menyamar menjadi apa saja demi kesuksesan misi mereka. Korban pertama mereka adalah seorang pejabat Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk yang dibunuh tahun 1092 di Baghdad. Selanjutya korban-korban mereka terus berjatuhan. Tapi Hashasin tidak melawan rakyat jelata, mereka hanya meneror lawan-lawan politik mereka.
Sosok Hashasin masuk dalam Film Prince of Persia. Penuh magis, mematikan dan menebar horor. Mungkin memang seperti itu Hashasin bekerja pada masanya.
Markas mereka dinamakan Benteng Alamut. Sebuah kastil megah di Persia, di tempat inilah Hasan-i-Sabbah melatih para pengikut setianya. Marco Polo, seorang penjelajah Eropa menggambarkan kastil ini seperti surga, dengan segala kenikmatan di dalamnya. Dia menceritakan Hassan memberikan ganja untuk memabukkan para pengikutnya. Beberapa tulisan menggambarkan kastil ini juga dipenuhi wanita cantik yang menggoda.
Sepak terjang Hashasin selama ratusan tahun akhirnya berakhir. Serangan Bangsa Mongol tahun 1257 ke Alamut menghancurkan benteng ini, dan menghancurkan sebagian besar catatan tentang Hashasin. Selanjutnya, Kesultanan Ottoman menghancurkan sisa-sia kekuatan Hashasin. Berakhirlah kisah kelompok elite ini.
Tapi namanya abadi, kata Assassin dalam bahasa Inggris yang berarti pembunuh diambil dari nama kelompok ini, Hashasin. Sebagai pengingat kehebatan kelompok ini dalam melumpuhkan lawan-lawan mereka.
Sumber : Disini

Ini 10 Pasukan Elite Terhebat Sepanjang Masa !

Jakarta – Majalah Time mengeluarkan daftar 10 pasukan elite terhebat sepanjang masa. Navy Seals menduduki peringkat pertama, disusul pasukan dari zaman Persia kuno, The Immortal.
Inilah 10 pasukan elite tersebut seperti ditulis majalah Time, Jumat (6/9/2011).

1. Navy Seals
Pasukan khusus AS ini langsung melejit namanya setelah sukses menewaskan buruan nomor 1 AS, Osama bin Laden. Seal merupakan akronim sea, air, land. Artinya pasukan elit ini mampu berlaga di tiga matra darat, laut dan udara. Personel Seal dipilih dan diseleksi dari personel militer AS yang terbaik.
2. The Immortal
Ini pasukan elite era Kerajaan Persia kuno. Saat menggempur Yunani, Herodotus mengumpulkan 10.000 orang pilihan. Mereka tangguh, mampu bergerak cepat dan dapat bekerja sama dengan baik. Seluruh personelnya dipersenjatai dengan pedang dan panah.
3. Brigade Gurkha
Brigade Gurkha terdiri seluruhnya dari warga Nepal yang mengabdi untuk tentara Inggris. Pasukan ini berdiri sejak 1815. Keberanian pasukan Gurkha ini melegenda. Hampir dalam setiap pertempuran yang melibatkan Inggris, mereka diterjunkan. Termasuk dalam konfrontasi di Malaysia saat era Dwikora dulu. Pasukan ini mempunyai pisau khas, yang bernama Kukri.
4. The Knights Hospitaller
Para ksatria ini dikenal saat perang salib periode pertama. Mereka adalah biarawan yang sering menolong para peziarah Kristen yang hendak melayat ke Yerusalem. Keberanian dan kegigihan mereka selama perang salib membuat namanya melegenda.
5. Special Air Service (SAS)
Pasukan elit Inggris ini dibentuk di Libya tahun 1940, saat perang dunia ke-2 berkecamuk. SAS merupakan salah satu pasukan khusus terbaik di dunia di era modern ini. Banyak negara menjadikan SAS sebagai kiblat pasukan khususnya. Misi pembebasan sandera di Kedubes Iran di London tahun 1980, salah satu yang membuat nama SAS melambung.
6. Green Berets
Dibentuk tahun 1952, pasukan green berets merupakan pasukan terbaik AD AS. Ingat Rambo? Nah, Rambo diceritakan adalah salah satu anggota pasukan elit ini. Green berets bertempur mulai dari Vietnam, Afganistan hingga melawan pengedar narkoba di Amerika Selatan. Selain jago bertempur dan mengoperasikan aneka senjata, salah satu kemampuan green berets adalah melatih gerilyawan lokal untuk melawan pasukan lawan.
7. The Varangian Guard
Mereka dianggap sebagai keturunan pelayar Viking. Kecakapan dalam pertempuran membuat mereka disegani di dunia Mediterania. Pada awal abad ke 11 Masehi, kaisar Bizantium Basil II yang berkuasa mengumpulkan pengawal pribadinya dari orang-orang ini. Varangians menempati peringkat elit tentara kekaisaran, mengenakan baju besi berat dan sering menghunus kapak besar.
8. The Hashishin
Kelompok ini berdiri di Iran sekitar abad ke-11 atau ke-12. Sebelum beraksi mereka melakukan ritual menghisap ganja atau hashis. Hashishin dikenal memiliki kemampuan yang tinggi untuk menculik atau membunuh lawan-lawan politik mereka. Karena itu kata ‘assassin’ atau pembunuh dalam bahasa Inggris, diambil dari nama kelompok Hashishin.
9. Israeli Special Forces
Awalnya berdiri tahun 1948, sebagai peleton khusus misi-misi pengintaian. Kini satuan ini berkembang sebagai salah satu pasukan komando terbaik di dunia. Membebaskan sandera di Bandara Entebbe, Uganda, tahun 1976 menjadi salah satu keberhasilan pasukan Yahudi ini. Pasukan ini pula yang mencegat konvoi Mavi Marvara yang hendak menembus blokade Israel atas Palestina, tahun lalu.
10. The Jaguar Warriors
Mereka berasal dari kebudayaan Aztec di Amerika Selatan. Sesuai namanya, pasukan ini mengenakan kulit jaguar sebagai pakaian perangnya. Senjata mereka adalah batu tajam yang bergerigi. Namun pasukan ini tidak mampu menahan pasukan invasi spanyol yang dilengkapi meriam dan senjata api.
Sumber :  Disini

Pieter Erberveld, April Hitam di Batavia

Di era VOC berkuasa, ketidakadilan merebak di mana-mana. Sejumlah pemberontak pun muncul dipimpin beberapa nama. Salah satunya adalah Pieter, bangsawan berdarah Jerman asal Batavia.
Tugu peringatan tua itu berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Persis di badan tengah tembok itu,sebuah tulisan kuno berbaris kaku.
“Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722,”demikian kira-kira terjemahan bebas dari bunyi huruf-huruf berbahasa Belanda dan Jawa itu.
Bersama ratusan nisan dan prasasti lainnya, tugu itu merupakan bagian dari Museum Prasasti, Jakarta Pusat. Aslinya benda tersebut berasal dari Kampung Pecah Kulit (sekarang Jalan Panggeran Jayakarta di Jakarta Utara). Namun sejak dijalankannya proyek relokasi oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1977, tembok berpenampilan angker itu dipindahkan ke sana. Lantas siapa Peter Erberveld yang disebut dalam prasasti itu?
“Saya tidak tahu pasti.Katanya sih dia itu dulu salah satu pemberontak yang paling dibenci kompeni,”ujar Asim (50), salah seorang penjaga di Museum Prasasti.
Keterangan Asim memang benar adanya. Adolf Heukeun dalam Historical Sites of Jakarta menyatakan pemberontakan Peter Erberveld memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada 1708.
Saat itu, pemerintah VOC (maskapai perdagangan Hindia Timur yang merupakan wakil dari Kerajaan Belanda di Nusantara kala itu— lewat Dewan Hemradeen (Collage van Heemraden) menyita ratusan hektar tanah di Pondok Bambu atas nama kepemilikan Peter Erberverld.Alasannya, tanah itu tak memiliki akte yang disahkan oleh VOC.
Pieter Erberveld adalah seorang Indo.Ayahnya bernama Peter Erberveld senior, seorang pengusaha kulit binatang yang berasal dari kota Elberfeld (kini merupakan bagian kota Wuppertal di negara bagian Nordrhein-Westphalen, Jerman).Ibu Pieter sendiri konon berasal dari Siam (Thailand). Namun berbeda dengan Heukeun, Alwi Sahab,sejarawan Betawi, menyebut sang ibu justru berasal dari Jawa.
Bisa jadi karena setengah inlander, Pieter jadi memiliki hubungan baik dengan orang-orang pribumi. Itu dibuktikan saat terjadi penyitaan tanah oleh VOC, rakyat kebanyakan berdiri di belakangnya. Namun kendati didukung masyarakat banyak, VOC tetap bersikeras menyita tanah juragan Jerman itu. Alih-alih membebaskannya, Gubernur Joan van Hoorn malah menambah hukuman dengan mewajibkan Pieter menyerahkan denda 3300 ikat padi kepada VOC.
Sejak peristiwa tersebut, Pieter memendam benci kepada VOC. Terlebih dalam menjalankan bisnisnya selain kerap licik dan kejam, maskapai dagang besar pertama di dunia itu juga bergelimang korupsi. Sebuah prilaku yang disebut oleh Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung,menjadi biang keladi kebangkrutan VOC pada 1799.
Insiden Pondok Bambu menjadikan hubungan antara Pieter dengan VOC berlangsung tegang dan penuh kecurigaan. Namun sebaliknya, di kalangan masyarakat pribumi, kejadian yang menimpa Pieter itu memunculkan sikap simpati yang lebih besar.Sebagai tanda hubungan baik itu berlangsung, Pieter sering berkunjung ke rumah-rumah masyarakat pribumi dan tak jarang mengadakan pertemuan di rumahnya yang terletak di kawasan yang sekarang bernama Kampung Pecah Kulit.
Pertemuan demi pertemuan memunculkan rasa senasib dan sepenanggungan. Dari ikatan emosional itu entah dari mana datangnya lantas muncul hasrat untuk melakukan pemberontakan. Bersama seorang ningrat asal Banten, Raden Ateng Kartadriya dan 25 pengikutnya,Pieter merencanakan aksi pembangkangan. Hari H-nya: 31 Desember 1721,bertepatan dengan pesta malam tahun baru 1722.
Selain berharap pada bantuan Kesultanan Banten yang sudah dikontak sebelumnya, pemberontakan itu juga rencananya akan melibatkan banyak bantuan dari berbagai pihak “Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17.000 prajurit yang telah siap memasuki kota,” ujar Raden Kartadriya seperti ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir.
Namun mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.Pemufakatan subversiv itu malah bocor sebelum waktunya kepada intelejen VOC. Lewat mulut seorang budak Pieter yang “bernyanyi”, Reykert Heere (Komisaris VOC untuk urusan bumiputera) bertindak cepat dengan menangkap 23 pelaku rencana pemberontakan tersebut termasuk Pieter dan Raden Kartadriya.
Sekitar 4 bulan pasca penangkapan, Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara) memutuskan hukuman mati untuk Pieter dan para pengikutnya. Namun hukuman mati itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa dan sangat kejam. Di sebuah lapangan sebelah selatan dekat Balai Kota, mereka menjalani hukuman sebagai pemberontak dengan punggung diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok hingga putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar.
Seolah ingin lebih puas, jantung mereka dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah para terhukum. Kepala dipancung dan tubuh mereka diikat oleh 4 ekor kuda yang berada pada 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh dan kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung sekaligus pembangkit efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC.
“Kelak bekas tempat eksekusi Pieter dan kawan-kawanya disebut sebagai Kampung Pecah Kulit,”ujar Alwi Shahab.
Benarkah Pieter dan kawan-kawan bumiputeranya merencanakan sebuah pemberontakan berdarah? Secara pasti hanya Tuhan dan para pejabat tinggi VOC-lah yang tahu. Namun 200 tahun setelah eksekusi barbar itu, seorang sejarawan Belanda bernama Prof.Dr.E.C.Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebut Insiden Pieter Erberveld sebagai peristiwa berdarah yang sarat konspirasi politik.
Selain faktor ketamakan ekonomi VOC, Prof.Godee menyatakan Insiden Pieter Erberveld terjadi karena adanya intrik dan nafsu politik di kalangan para pejabat maskapai dagang tersebut. Ia percaya bahwa isu rencana pemberontakan hanya bualan semata.Baginya tidaklah mungkin seorang Pieter yang terpelajar dan pintar berlaku sembrono dengan merencanakan kudeta tanpa persiapan dan serba mendadak.
“Itu mungkin sekali, karena berbagai keadaan pada masa itu, orang tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sengala rencana komplotan itu diperoleh dari hasil siksaan-siksaan,” ujar Prof.Godee dalam tulisan yang termuat dalam buku sejarah Geschiedenis van Nederlands Indie, jilid empat, himpunan Dr. F. W. Stapel itu.
Menurut Kepala Kearsipan Negara di Hindia Belanda (1922-1937) itu, sekitar 3 minggu pasca komplotan Pieter diciduk, pemeriksaan intens dijalankan oleh Dewan Pejabat Tinggi Negara terhadap 23 orang. Termasuk Erberveld, Kartadriya dan Layeek, seorang lelaki asal Sumbawa yang merupakan terdakwa utama. Dalam pemeriksaan tersebut, ketiganya ngotot menyatakan diri tak merencanakan apapun.
Landdrost (semacam jaksa) lantas mengambil jalan pintas untuk memunculkan pengakuan. Caranya Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya dengan perkara sihir, kekuatan seorang terdakwa untuk membisu terletak pada rambutnya. Semua usaha itu sia-sia sebab Kartadriya tetap bungkam.
Lalu giliran Layeek. Begitu disiksa, orang Sumbawa itu lansung mengaku karena daya tahan fisik dan mentalnya tak setangguh Kartadriya. Menurut hasil “nyanyiannya” Pieter Erberveld memang telah membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan. Jika rencana itu berhasil, Pieter akan menjadi raja atau gubernur dan para pendukungnya akan mendapat ganjaran menurut partisipasi masing-masing dalam pemberontakan itu.
Begitu pengakuan didapat, jaksa memerintahkan penyiksaan lebih sadis kepada Kartadriya dan Pieter. Usaha mereka tidak sia-sia, Pieter dan Kartadriya akhirnya mengaku salah karena tak tahan menghadapi siksaan yang makin kejam. Pieter mengiyakan bahwa dirinya dihasut oleh Kartadriya.
Tidak hanya itu, Pieter pun mengungkapkan dokumen rencana komplotan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan di lemari tua di rumahnya. Ia juga menyatakan telah mengadakan hubungan surat menyurat dengan putera Untung Suropati,pemberontak Bali di Kartasura. Dalam nada mengingau karena secara fisik dan mental sudah hancur lebur, Pieter menyebut sejumlah nama fiktif : 12 pangeran dari Banten serta 13 pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon.
”Namun anehnya, kendati dicari secara teliti, tak sepucuk suratpun ditemukan dalam sebuah kotak di almari tua di rumah Pieter,”tulis Godee.
Prof. Godee Molsbergen juga menyebut beberapa kenyataan yang tidak wajar dalam proses pengadilan itu. Menurutnya, perkara pengkhianatan yang tergolong criman leasae majestatis – kejahatan terhadap yang dipermuliakan- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh Collage van Heemraden.
”Untuk pelaksanaan hukuman mati pun tidak boleh di sembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Dalam kasus Pieter Erberveld para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya,”ujar sejarawan ahli Hindia Belanda itu.
Konspirasi politik semakin kentara, kala beberapa hari setelah pembantaian Pieter dan kawan-kawannya dilakukan. Reykert Heere, pejabat VOC yang merasa mendapat info pertama tentang “pengkhianatan” Erberveld, minta balas jasa. VOC sigap dengan menaikan pangkat Rykert dari seorang Komisaris menjadi Opperkoopman (pembeli tertingi).Gajinya pun naik jadi 100 gulden sebulan.
Kini hampir 300 tahun, tugu peringatan tua itu masih berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Sebuah bentuk pemakluman atas hitamnya sejarah kemanusian di Batavia pada April 1722. (hendijo)
Sumber : disini

Titik Pertempuran Pahlawan Seribu

Perang ada dan akhirnya dicatat sebagai sebuah peristiwa bersejarah oleh masyarakat. Dengan mata yang tidak berfungsi dengan normal dan jalan yang tertatih-tatih Pak Mahadi masih terkenang dengan kuat masa-masa ketika pertempuran seribu terjadi. Pak Mahadi, kelahiran 20 Februari 1917 yang sehari-hari akrab dipanggil Pak Oyot, mulai menuturkan kisahnya saat ia berusia sekitar 30 th. Saat itu, ia menjadi “komicho” yang dulunya merupakan sistem aparat desa bentukan Jepang atau setingkat RT saat ini.
Pak Mahadi atau biasa disapa Pak Oyot (90), seorang pelaku sejarah pertempuran Pahlawan Seribu di Serpong
Para laskar rakyat yang datang menyerbu merupakan para laskar yang berasal dari Banten ketika itu. Mereka yang datang dari dari daerah Maja mencapai ribuan orang yang dipimpin oleh seorang Kyai. Ketika itu rakyat yang berjumlah ribuan berhadapan secara langsung dengan para tentara Belanda.
Menurut Pak Oyot, saat itu pihak Belanda mengajak berdamai dengan rakyat yang menyerbu markas karena rakyat yang bersenjata golok dan bambu dipandang sebelah mata oleh pasukan belanda yang bersenjata canggih kala itu. Namun, saat sedang berlangsung pembicaraan ada tentara Belanda yang dibacok. Hingga akhirnya, pertempuran pun meletus. Dengan bermodal keberanian dan senjata genggam rakyat mulai menyerang. Sambil meneriakkan “Allahu Akbar” mereka menghunus golok dan bambu runcing.
Pertempuran yang terjadi pada tanggal 26 Mei 1946 berlangsung selama 12 jam. Korban yang jatuh ketika itu, menurut penuturan Pak Oyot yang juga merupakan salah seorang yang ikut memakamkan mereka ke dalam tiga lobang berjumlah 147. Ia mengatakan dua lubang makam masing-masing diisi 50 jenazah dan yang satunya berjumlah 47 orang. Namun, di tempat berbeda ditemukan 3 jenazah lagi yang kemudian dimakamkan secara terpisah. Bersama dengan rekannya seorang amil desa Cilenggang yang sudah wafat, ia memandikan dan mengubur jenazah-jenazah tersebut ke liang lahat.
Mungkin kini hanya tinggal Pak Oyot yang menjadi saksi hidup peristiwa tersebut. Ketika itu Pak Oyot secara langsung menyaksikan dan memakamkan para jenazah pertempuran tersebut. Selain itu kisah pertempuran dengan tentara Belanda tersebut, ia juga menuturkan pertempuran yang terjadi dengan Jepang di daerah Lengkong. Menurut Pak Oyot, di daerah Lengkong merupakan gudang senjata tentara Jepang. Namun, para taruna yang ketika itu dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, mencoba merebut gudang senjata tersebut. Hingga akhirnya meletuslah peristiwa Lengkong. Pada awalnya pasukan Jepang ketika itu tidak mau menyerahkan gudang senjata tersebut. Namun semangat pemuda yang sangat berani akhirnya menguasai gudang senjata tersebut hingga meletuslah peristiwa Lengkong.
Sebelumnya ketika masa pemerintahan Jepang, Pak Oyot mengaku sempat menjadi pekerja paksa di Lengkong sebagai tukang besi di gudang senjata.
Berikut ini adalah kutipan wawancara yang dilakukan oleh reporter SerpongKita.com dengan Pak Mahadi bin Bantoet alias Pak Oyot:
Kapan Anda mengalami masa perjuangan Serpong?
Ketika terjadi peristiwa pertempuran tersebut sekitar bulan mei 1946, saya berusia sekitar 30 thn. Masa pemerintahan ketika itu masih kawedanan dan saat itu merupakan masa transisi kekuasaan Nasional yang diproklamirkan oleh Bung Karno ketika itu.
Saya menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri ribuan orang mendatangi Vedbak (Pos-pos MP) yang ada di PTPN dulu.
Apa yang Anda ketahui tentang peristiwa Pertempuran Seribu yang terjadi ?
Saya menyaksikan dari rumah, ribuan orang berduyun-duyun dengan berjalan kaki menghampiri Vedbak-Vedbak yang ada di kawasan PTPN hingga Stasiun. Dan ada seorang Kyai yang bersorban memimpin pasukan tersebut. Awalnya tidak terjadi keributan karena sebelumnya ada perundingan. Meski, mereka saling berhadapan namun tidak langsung terjadi bentrok. Pihak Belanda meminta para laskar tersebut untuk bubar. Mereka tidak melihat rakyat sebagai seatu ancaman yang berbahaya . Para rakyat yang bersenjata golok, tetap berada di posisinya untuk menyerang. Sementara pasukan Belanda sudah bersiap untuk menembak mereka dari balik pohon bambu yang berada di dataran yang lebih tinggi.
Bagaimana kondisi masyarakat Serpong, ketika itu?
Ketika itu memang masyarakat di daerah Serpong sudah merasa tertekan. Namun sebagian besar dari laskar rakyat yang turun ketika itu merupakan Laskar yang datang dari Banten. Ada beberapa penduduk Desa Kranggan dan Desa Setu yang juga ikut bertempur ketika itu. Dengan modal keberanian dan senjata yang ada, berbagai golongan kelompok dan suku yang ada ketika itu, bersatu menyerang Pos tentara Belanda yang ada di sini.
Siapa saja yang terlibat ketika masa perjuangan Serpong tersebut?
Untuk peristiwa Pahlawan Seribu, titik pertempuran terjadi tepat di kawasan pertigaan Cisauk. TKR belum ada jadi perlawanan yang dilakukan bersifat semangat kedaerahan dan lokal. Pada umumnya laskar atau kelompok perlawanan rakyat yang datang menyerbu Belanda di daerah ini datang dari Banten yang berasal dari daerah Madja, Tejo dan sekitar Rangkas Bitung . Tetapi untuk peristiwa Lengkong yang merupakan perebutan gudang senjata tentara Jepang oleh para taruna Akedemi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot.
Setelah terjadi peristiwa pertempuran Pahlawan Seribu, apa yang Anda terjadi ?
Malamnya, setelah pertempuran yang berlangsung selama satu hari dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam itu, Serpong benar-benar sepi dan sunyi. Warga banyak yang pergi karena ketakutan. Namun, saya dan almarhum Jaro Arsyad mulai mengumpulkan dan mengubur jenazah. Jenazah berjumlah 147. Dan dimakamkan ke dalam tiga liang lahat. Kemudian 3 jenazah dimakamkan terpisah oleh warga.
Setelah keadaan kembali normal, para warga membuat sebuah tugu peringatan yang dibangun secara swadaya. Namun, saya prihatin. Tugu tersebut saat ini kian tertutup diantara para pedagang yang berjajar di pertigaan Cisauk.

Jejak Sejarah Pertempuran 5 Hari 5 Malam

1 Januari 1947
DARI RS. Charitas terjadi rentetan tembakan disusul oleh ledakan-ledakan dahsyat kearah kedudukan pasukan kita yang bahu membahu dengan Tokoh masyarakat bergerak dari pos di Kebon Duku (24 Ilir Sekarang) mulai dari Jalan Jenderal Sudirman terus melaju kearah Borsumij, Bomyetty Sekanak, BPM, Talang Semut.
2 Januari 1947
Diperkuat dengan Panser dan Tank Canggih Belanda bermaksud menyerbu dan menduduki markas Tentara Indonesia di Masjid Agung Palembang. Pasukan Batalyon Geni dibantu oleh Tokoh Masyarakat bahu membahu memperkuat barisan mengobarkan semangat jihad yang akhirnya dapat berhasil mempertahankan Masjid Agung dari serangan sporadis Belanda. Pasukan bantuan belanda dari Talang Betutu gagal menuju masjid agung karena disergab oleh pasukan Lettu. Wahid Luddien sedangkan pada hari kedua Lettu Soerodjo tewas ketika menyerbu Javache Bank. Diseberang ulu Lettu. Raden. M menyerbu kedudukan strategis belanda di Bagus Kuning dan berhasil mendudukinya untuk sementara. Bertepatan dengan masuknya pasukan bantuan kita dari Resimen XVII Prabumulih
3 Januari 1947
Pertempuran yang semakin sengit kembali memakan korban perwira penting Lettu. Akhmad Rivai yang tewas terkena meriam kapal perang belanda di sungai seruju. Keberhasilan gemilang diraih oleh Batalyon Geni pimpinan Letda Ali Usman yang sukses menhancurkan Tiga Regu Kaveleri Gajah Merah Belanda. Meskipun Letda Ali Usman terluka parah pada lengan.
Pasukan lini dua kita yang bergerak dilokasi keramat Candi Walang (24 Ilir) menjaga posisi untuk menghindari terlalu mudah bagi belanda memborbardir posisi mereka. Sedangkan pasukan Ki.III/34 di 4 Ulu berhasil menenggelamkan satu kapal belanda yang sarat dengan mesiu. Akibatnya pesawat-pesawat mustang belanda mengamuk dan menghantam selama 2 jam tanpa henti posisi pasukan ini.
Pada saat ini pasukan bantuan kita dari Lampung, Lahat dan Baturaja tiba dikertapati namun kesulitan memasuki zona sentral pertempuran diareal masjid agung dan sekitar akibat dikuasainya Sungai Musi oleh Pasukan Angkatan Laut Belanda.
4 Januari 1947
Belanda mengalami masalah amunisi dan logistik akibat pengepungan hebat dari segala penjuru oleh tentara dan rakyat, sedangkan tentara kita mendapat bantuan dari Tokoh masyarakat dan pemuka adat yang mengerahkan pengikutnya untuk membuka dapur umum dan lokasi persembunyian serta perawatan umum.
Pasukan Mayor Nawawi yang mendarat di keramasan terus melaju ke pusat kota melalui jalan Demang Lebar Daun. Bantuan dari pasukan ke masjid agung terhadang di Simpang empat BPM, Sekanak, dan Kantor Keresidenan oleh pasukan belanda sehingga bantuan belum bisa langsung menuju kewilayah charitas dan sekitar.
Pasukan dari Kebun Duku diperintahkan untuk menyerang Jalan Jawa lama dan 11 Siang telah menyusun barisan berangkat ke kenten. Tiba-tiba dalam perjalanan Kapal Belanda menembaki rumah sekolah yang dihuni oleh Batalyon Geni dan Laskar Nepindo sehingga pihak kita mengalami banyak kerugian dan korban jiwa.
Dalam Cease Fire TKR dan laskar serta badan-badan perlawanan rakyat diperintahkan mundur sejauh 20 KM dari kota palembang atas perintah Komandan Divisi II Kolonel Bambang Utoyo. Sedangkan dikota palembang hanya diperbolehkan pasukan ALRI dan unsur sipil dari RI yang tinggal.
Sumber : sini

Perebutan Sebuah Jembatan

JANGAN membayangkan operasi pemulihan keamanan di Aceh seperti perang antara Amerika Serikat dan Irak yang merupakan perang konvensional. Operasi di Aceh ini adalah pertempuran melawan gerilya yang sporadis, yang tidak terduga kapan terjadinya. Biasanya pertempuran berlangsung jika pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukul pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dihadang oleh gerilyawan GAM dalam suatu patroli.
Salah satu kisah pertempuran yang cukup berkesan di hati prajurit TNI adalah perebutan sebuah jembatan yang melintasi Krueng (Sungai) Tingkeum di Desa Darul Aman, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sekitar 50 kilometer ke arah barat Kota Lhok Seumawe, Rabu (21/5). Daerah tersebut dikenal sebagai basis pertahanan GAM. Wilayah itu menjadi tanggung jawab Detasemen Pemukul (Denkul) 1 Batalyon 712/Wiratama Manado, Sulawesi Utara, pimpinan Letkol Hipdizar.
Namun, sayangnya wartawan tidak berkesempatan meliput langsung jalannya pertempuran tersebut. Meskipun demikian, perebutan jembatan itu terus menjadi bahan cerita para prajurit selama dua hari wartawan berada di Markas Denkul 1 di Desa Matanggeulumpang, Peusangan.
“Coba kalau wartawan datang kemarin, bisa langsung melihat langsung. Itu pertempuran terbesar sejak kami enam bulan bertugas di sini,” tutur Hipdizar hari Kamis lalu.
JEMBATAN di Desa Darul Aman itu panjangnya sekitar 500 meter dan berkonstruksi baja. Jembatan itu sangat strategis untuk menuju ke pedalaman Bireuen termasuk ke Desa Pante Raya yang merupakan basis GAM. Di tempat tersebut pernah dirayakan milad ke-26 GAM pada 22 Desember 2002. Oleh karena itu, perebutan jembatan menjadi penting bagi TNI untuk dapat menembus pertahanan GAM.
Jembatan tersebut sudah sejak beberapa hari sebelumnya diincar TNI untuk direbut. Namun, tampaknya GAM juga mati-matian mempertahankan jembatannya. Sejumlah bom rakitan diletakkan di sekitar penyambung wilayah itu. Selain itu, sejumlah pohon kelapa pun dirobohkan guna menghalangi orang yang menuju jembatan tersebut. Sekitar 100 meter ke arah selatan jembatan, jalan telah digali selebar tiga meter dengan dalam sekitar dua meter.
Untuk menembus jembatan itu sempat terpikir untuk menggunakan bantuan helikopter karena begitu gencarnya tembakan dari arah seberang. Namun, Denkul 1 tetap berusaha menggunakan kekuatan yang ada. Salah satu yang membuat mereka berhasil menembus jembatan itu adalah penggunaan dua truk Reo yang dilapisi baja antipeluru.
“Truk Reo ini sudah dikenal ditakuti oleh GAM,” ujar Prajurit Kepala Ong Lee, pengemudi salah satu truk Reo, membanggakan truk yang dikemudikannya. Itu diketahuinya dari pembicaraan radio panggil handie talkie (HT) GAM yang frekuensinya ditangkap oleh Denkul 1, di mana GAM membatalkan penghadangan jika truk Reo ini lewat di basis GAM.
Warna kedua truk milik Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini juga lain dari mobil/truk standar TNI yang biasanya hijau polos. Warna dua truk Reo ini loreng hijau, putih, hitam.
Sambil melaju kencang di jembatan, tembakan melalui senapan mesin SMR yang dioperasikan Kopral Dua (Kopda) S Mongkow dan Kopda ABD Haris terus diarahkan ke arah depan. “Selain tembakan, granat-granat yang dilontarkan dengan granate launching machine (GLM) meledak di kiri kanan truk. Tetapi saya terus melaju ke depan,” ujar Ong Lee.
Tidak mudah untuk menembus pertahanan GAM itu. “Apalagi SMR saya sempat macet tiga kali. Buat tentara, hal yang paling mengkhawatirkan adalah jika senjata macet. Namun, teman saya membantu dengan tembakan senapan mesin minimi, sambil saya memperbaiki SMR,” kata Mongkow. Maklum SMR tersebut sudah berumur 29 tahun, sedangkan gerilyawan GAM umumnya menggunakan AK47 versi baru. Pukul 11.00, akhirnya jembatan itu dapat dikuasai dan TNI membuat pos di rumah-rumah kosong dan sekolah yang dibakar.
Tingkat kesulitan perang gerilya memang lebih tinggi dibanding perang konvensional. Dalam konteks ini, berbaurnya GAM dengan masyarakat adalah kesulitan yang mesti dipecahkan. Apalagi di wilayah Denkul 1 itu GAM telah menarik Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sehingga antara GAM dan masyarakat sulit diidentifikasi.
Intel GAM yang dikenal sebagai cantoi yang berada di mana-mana-termasuk duduk-duduk di kedai sekitar pos TNI-juga menyulitkan TNI. “Baru kami mengikat tali sepatu, mereka sudah tahu kami akan jalan dan menyebarkan rencana itu melalui HT. Malah kadang orang yang mentraktir di kedai bertemu di lapangan ketika bertempur,” ujar seorang prajurit.
Belum lagi persoalan bahasa karena umumnya masyarakat berkomunikasi dengan bahasa Aceh. “Kami sudah biasa kalau bertanya ke masyarakat yang dijawab dengan hana teupu (tidak tahu),” ujar Perwira Seksi Operasi Denkul 1 Lettu Wiryanto. Istilah hana teupu itu sudah menjadi istilah yang populer di kalangan prajurit.
Lain halnya pertempuran di Desa Lancuk, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, TNI/Polri memang mampu masuk ke wilayah basis-basis GAM, tetapi agak kesulitan untuk menembaki anggota GAM. Hal yang sama terlihat di Desa Teupin Jalo, Kecamatan Samalanga. Masalahnya, anggota GAM yang bertempur tidak begitu melayani ketika TNI/Polri melepaskan tembakan. Kalaupun GAM melayani serangan TNI/Polri, sifatnya hanya kalau mereka terdesak untuk membela diri dan sekaligus melarikan diri. Bahkan, anggota GAM sendiri sudah menggabungkan dirinya dengan warga setempat tanpa menggunakan atribut seragam militernya.
Tidak jarang keluar dari mulut personel pasukan TNI/Polri bahwa GAM pengecut karena tidak berani bertempur secara kesatria menunjukkan jati dirinya. Ketika terjadi pertempuran, biasanya GAM hanya mau melayani sekali-sekali saja. Kalaupun ada serangan balik dari GAM, sifatnya hanya sebagai serangan psikis. Seolah-olah GAM masih kuat dan berani bertempur.
Padahal setiap kali TNI/Polri merangsek ke basis-basis pertahanan GAM, tak ada perlawanan yang berarti. Anggota GAM terlihat justru mundur dan melarikan diri.
Begitulah kesulitan yang terjadi di lapangan. Entah kapan perang gerilya itu akan membuahkan hasil di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam.
Sumber : sini

Kisah Perang Brimob Rangers

PERISTIWA PENARIK, MUKO-MUKO, PERTENGAHAN TAHUN 1960
Anton A. Setyawan
Hasil wawancara dengan mantan anggota Kompi A Brimob Rangers. Mei 2008
Peristiwa pertempuran antara dua peleton pasukan dari Kompi A Brimob Rangers pimpinan Aiptu Ketut Wahadi dengan satu batalyon pemberontak PRRI/Permesta. Seperti kita ketahui, tahun 1958 muncul pemberontakan PRRI/Permesta dengan pusat di Pekanbaru dan Padang yang dimotori oleh beberapa perwira menengah Angkatan Darat di Sumatera. Inti dari pemberontakan ini adalah ketidakpuasan dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta.
Pemberontakan dalam skala besar sudah berhasil ditumpas dengan operasi Tegas dan Operasi 17 Agustus. Pada akhir tahun 1958, semua kota besar di Sumatera, baik Pekanbaru dan Padang sudah kembali ke pangkuan RI, selain itu banyak dari pasukan pemberontak yang menyerah. Namun demikian, sampai dengan tahun 1961 banyak sisa pasukan pemberontak PRRI. Salah satunya batalyon yang dipimpin Letkol Nawawi yang bergerilya di hutan pedalaman Sumatera. Batalyon ini dipersenjatai dengan senjatasenjata bantuan dari Amerika Serikat pada awal 1958. Para prajurit Infanteri Sumatera ini semuanya memegang senjata M1 Garrand, M1 Karabin (Jungle Lipat), senjata otomotatis Thompson, senjata berat mortir 60 mm dan 80 mm.
2 peleton Kompi A Brimob Rangers didaratkan di kawasan pantai Ipoh pada
bulan Mei 1960 dengan kapal pendarat milik Polairud dengan kode lambung 801. Seperti standar pendaratan operasi ampibi, pendaratan diawali dengan tembakan senapan mesin 12,7 dari kapal pendarat untuk memastikan tidak ada pemberontak yang menguasai pantai. Setelah penembakan dilakukan, baru satu kompi pasukan Brimob Rangers mendarat dengan aman. Kompi A Brimob Rangers ini dikirim ke Sumatera untuk memback up Brimob Bengkulu yang beberapa minggu sebelumnya di bantai oleh 1 batalyon Nawawi. Satu batalyon Brimob Bengkulu ini mengalami jumlah korban yang sangat besar karena serangan mendadak (raid) dari pemberontak PRRI. Markas Brimob Bengkulu ini sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah dan di dalam markas hanya tinggal tersisa beberapa anggota yang selamat dari serangan dadakan tersebut.
Pasca pendaratan 2 kompi Brimob Rangers melakukan konsolidasi di pantai dan langsung mengejar gerombolan pemberontak yang berlokasi di kecamatan Ipoh. Mereka kemudian bergabung dengan satu batalyon TNI AD dari Pekanbaru dibawah komando Letkol Dani Effendi. Oleh Danyon Letkol Dani Effendi, Brimob Rangers difungsikan sebagai peleton pengintai dengan jarak 5 kilometer di depan Batalyon Infanteri.
Masuk perbatasan Sumatera Selatan, peleton 1 bertemu dengan kompi terakhir Batalyon Ahmad Lubis, dan terjadi kontak senjata pertama. Anehnya, posisi peleton 1 justru mengejar satu kompi pemberontak. Pada saat hari menjelang malam, ada teriakan dari pasukan pemberontak “Istirahat makan….!!!”. Sangat aneh, pada saat kontak senjata seru, musuh menyerukan untuk istirahat dulu. Permintaan ini dituruti oleh Danton 1 Brimob Rangers karena kedua pasukan dihalangi sungai sehingga kesulitan untuk menyeberang, selain itu pasukan butuh istirahat setelah hampir beberapa hari bergerak sambil terus melakukan kontak senjata.
Pada akhirnya, peleton 1 sampai di daerah Penarik, Muko-Muko (saat ini menjadi daerah transmigran). Pada jam 17.00, Agen Polisi Ristoyo mendengar kokok ayam jantan ditengah hutan. Hal ini aneh karena biasanya yang terdengar adalah ayam hutan. Setelah melapor pada danton, dua prajurit Rangers dari peleton 1 merayap menuju arah suara tersebut, ternyata Kompi staf batalyon dan beberapa kompi lain dari pemberontak sedang beristirahat. Musuh yang beristirahat diperkirakan berjumlah 300 orang, mereka sedang menunggu giliran menyeberang sungai.
Peleton 1 segera mengambil posisi menyerang. Pada saat itu (tahun 1960) Brimob Rangers menggunakan senjata M1 karabin (jungle riffle), sub-machine gun Carl Gustav dan bren MK3. Persenjataan dan posisi pasukan dipersiapkan oleh Danton sebaik mungkin. Kemudian, danton memberikan komando,tembak….!!!maka desing peluru dari senapan anggota peleton 1 berhamburan. Pada tembakan magasin pertama, mereka masih membidik dengan baik sesuai dengan teori. Namun pada magasin kedua dan selanjutnya penembakan reaksi lebih banyak dilakukan, karena pertempuran terjadi pada jarak dekat, selain itu hari sudah malam sehingga posisi musuh hanya bisa diketahui dari bunyi tembakan balasan mereka.
Pada awal posisi pertempuran, jarak antara pasukan musuh dengan peleton 1 Brimob Rangers sekitar 300 meter, namun yang terjadi kemudian adalah pertempuran jarak dekat. Jarak antara pasukan Brimob Rangers dan musuh hanya sekitar 5-6 meter. Pertempuran yang terjadi tanpa ada garis pertahanan. Balasan dari musuh dengan berbagai senjata ringan sangat hebat, namun tampaknya mental bertempur mereka sudah jatuh karena banyak perwira yang tewas. Akhirnya setelah 1,5 jam, pertempuran usai dan musuh mundur. Peleton 1 tidak mengejar karena anggota pasukan kelelahan.
Setelah mengatur giliran jaga, anggota peleton 1 tidur di lokasi yang sebelumnya menjadi medan pertempuran.
Pagi harinya, anggota peleton 1 menghitung jumlah korban dan senjata yang ditinggalkan. Ada sekitar 60 mayat pasukan musuh dan ada sekitar 10 perwira yang tewas. Senjata yang ditinggalkan adalah puluhan M1 Garrand (pada awal 60-an senjata ini dianggap sangat canggih), mortir dan bazooka. Para anggota peleton 1 Brimob Rangers lega, karena musuh tidak sempat menggunakan senjata-senjata tersebut. Jika senjata itu digunakan ceritanya bisa lain. Agen Polisi Kartimin, terkaget-kaget karena tempat yang ditidurinya semalam dekat dengan mayat pemberontak. Dalam pertempuran ini tidak ada satu pun prajurit Brimob Rangers yang menjadi korban.


MENYUSUP KE BELAKANG GARIS PERTAHANAN MUSUH DALAM OPERASI MANDALA/TRIKORA DARI PEMBURU MENJADI YANG DIBURU
Operasi Mandala yang dipimpin oleh Mayjend Soeharto adalah sebuah operasi militer sebagai jalan terakhir menyelesaikan masalah Irian yang ditunda oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Dalam operasi gabungan ini, semua unsur dari Angkatan Bersenjata dikerahkan. Angkatan Darat yang dimotori oleh RPKAD, Banteng Raiders dan beberapa unsur Divisi Siliwangi beserta Pasukan Gerak Tjepat (sekarang Pasukan Khas) TNI AU disusupkan dengan penerjunan ke beberapa wilayah di Irian Jaya. Pasukan Marinir disiapkan di Ambon untuk melakukan pendaratan ampibi, jika pertempuran frontal terjadi.
Pasukan Brimob dari beberapa Polda dan Resimen Pelopor menjadi bagian dari RTP 1 (Resimen Tempur) 1 yang akan disusupkan ke daerah Fak-Fak, Papua. Anggota Resimen Pelopor yang menjadi inti dari RTP 1 terdiri dari 60 orang, yang sebagian besar berasal darii Kompi A. Mereka sudah menggunakan senjata AR 15 yang dibagikan pada tahun 1961, pada saat operasi Gerakan Operasi Militer (GOM) IV di Aceh tahun 1961.
Pasukan berangkat dari Tanjung Priok Jakarta pada bulan Februari 1962. Mereka berangkat menuju Ambon yang menjadi salah satu pusat komando operasi Mandala.
Setelah sampai di Ambon, pasukan dibagi lagi menjadi detasemen-detasemen kecil. Pasukan Brimob dari beberapa Polda dipecah untuk disusupkan ke beberapa wilayah dan sebagian menjadi petugas radio dan transportasi. Petugas transportasi yang dimaksud adalah menjadi pengendali perahu motot kecil yang digunakan untuk menyusup ke wilayah lawan. Pasukan dari Resimen Pelopor tidak dipecah karena mereka memiliki misi khusus yaitu melakukan serangan demolisi (penghancuran) instalansi milik Belanda.
Sesampai di Ambon, 60 orang anggota Menpor dipindahkan ke kapal nelayan untuk berangkat ke Pulau Gorom di kawasan Kepulauan Kei. Maluku. Pulau Gorom adalah pulau tidak berpenghuni yang hanya berisi pohon pala. Mereka menunggu di pulau itu menunggu perintah infiltrasi. Pada bulan April 1962, perintah untuk mendarat di Fak-Fak datang, dan segera dipersiapkan perahu kecil untuk melakukan pendaratan. Misi pendaratan ini bukan pendaratan ampibi, melainkan infiltrasi sehingga perahu pun disamarkan dengan perahu nelayan.
Jarak antara Pulau Gorom dengan daratan Fak-Fak hanya 4 jam pelayaran, sehingga tidak dibutuhkan waktu lama untuk sampai di daratan Fak-Fak. 60 pasukan Menpor mendarat di Fak-Fak pada pukul 03.00 pagi. Pasukan ini mendapatkan “sambutan hangat” dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda, berupa tembakan meriam dari arah lautan. Rupanya penyusupan tersebut diketahui oleh AL Belanda. Tembakan kanon dari kapal AL Belanda mengenai garis pantai sehingga pasukan kocar-kacir.
Mereka juga tidak mampu membalas karena hanya membawa senjata ringan AR 15 dan granat tangan. Pertempuran yang tidak seimbang itu hanya berlangsung beberapa menit, namun segera diketahui akibatnya. 20 anggota Menpor salah arah dan langsung menuju markas musuh, mereka akhirnya ditawan. 40 sisanya terpencar tidak karuan.
Pasukan Menpor yang terpecah itu kemudian kehilangan kontak karena semua peralatan komunikasi rusak akibat pemboman. Masing-masing kelompok terpecah menjadi 4 sampai 8 orang dan berasal dari regu yang berbeda-beda. Mereka kehilangan kontak dengan pasukan induk, tidak mempunyai dukungan logistic dan berada di daerah lawan. Hampir semua anggota Menpor yang berada dalam situasi itu, ketika diwawancarai yakin bahwa mereka pasti mati. Perintah dari komandan operasi pasukan Menpor tidak boleh menembak kecuali dalam kondisi tidak bisa menghindari musuh.
Pasukan yang tercerai berai itu masih “dihadiahi” Belanda dengan pemboman dari laut dan tembakan senapan mesin dari pesawat tempur/ Ajun Brigadir Wagiyo mengingat saat itu, sebagai jam tanda bangun pagi yaitu suara meriam dan mereka harus segera mencari perlindungan. Pesawat tempur yang terbang rendah (waktu itu Belanda masih menggunakan pesawat baling-baling) adalah gangguan lain yang memaksa pasukan Menpor bersembunyi dengan baik.
Ajun Brigadir Kartimin mengingat, pada saat itu sering keliru mengira pesawat Belanda sebagai pesawat dari TNI AU yang menerjunkan logistic. Ia menunggu makanan yang datang adalah peluru senapan mesin dan kadang-kadang roket udara ke darat.
Logistik dari TNI AU sebenarnya sering datang, namun lokasi penerjunan logistic lebih dekat ke wilayah musuh daripada di hutan.
Pasukan Menpor yang ditawan Belanda mempunyai “kesibukan” sendiri, setiap pagi mereka harus melakukan senam militer dan kadang-kadang senam tersebut dilakukan semakin mendekati garis pantai. Mereka harus bersenam sambil melakukan gaya injak-injak air.
Beberapa anggota Menpor yang terpencar sempat kepergok oleh patroli AD
Belanda dan terjadi kontak senjata. Pasukan Menpor tersebut bisa menewaskan 11 anggota pasukan Infanteri Belanda dan seorang perwira infanteri berpangkat Letnan Dua.
Setelah melakukan kontak mereka segera bersembunyi untuk menghindari kejaran pasukan yang lebih besar. Pasukan Menpor akhirnya bisa melakukan konsolidasi setelah gencatan senjata disepakati pada Bulan Mei 1962. Pasukan akhirnya dikonsolidasikan dan ditarik ke kapal perang milik TNI AL. Sebagian besar anggota Menpor yang belum sempat kontak senjata dengan Belanda merasa kecewa karena amunisi yang mereka bawa belum sempat dipergunakan, padahal mereka sudah  merasakan hantaman meriam dan roket Belanda.
Mereka juga beranggapan sangat tidak enak menjadi buruan musuh, karena pada operasi militer sebelumnya mereka selalu memburu musuh.
Sumber : sini

Kisah Pertempuran di Kamal

PERISTIWA perlawanan yang heroik dari Letnan Ramli di Kamal dan kawan-kawannya memberi kesan kepada Belanda bahwa semangat perjuangan Rakyat Madura sangat tinggi dan tetap bergelora, begiru juga perlawanan dari daerah -daerah lain juga meluap-luap.
GUGURNYA LETNAN R. MOHAMMAD RAMLI
Pada hari jum’at tanggal 5 Juli 1946, sekitar pukul 08:00 terlihat enam buah tank amphibi dan dilindungi oleh tiga buah pesawat udara jenis Mustang menuju Kamal, dan pesawat udara tersebut menembaki daerah pantai, dan pesawat udara tersebut menembaki daerah pantai yang diduga terdapat pos-pos pertahanan kita, yang kemudian 6 buah tank amphibi Belanda terbagi dua menuju sasaran daerah pelabuhan DKA dan pelabuhan Pier Timur.
Letnan R. Mohammad Ramli dengan kejadian yang dihadapinya memerintahkan kepada anggota Seksinya melalui Komandan Regunya untuk tetap mempertahankan pos-posnya sekuat mungkin jangan sampai tentara Belanda dapat mendarat.
Perlu diketahui Mohammad Ramli adalah seorang Perwira BKR dengan pangkat Letnan, yang dipercaya untuk memimpin Seksi I Kompi IV Batalyon III Resimen Madura Barat, dibawah pimpinan Mayor Mohammad Imbran dan bertugas untuk mempertahankan daerah pantai Kamal, Pier Timur dan Jungjate.
Tiga buah tank amphibi telah dapat mendarat dan menuju/melalui pelabuhan Pier Timur ke darat dengan mengeluarkan tembakan-tembakan dan dalam hal tersebut Letnam R. Mohammad Ramli memimpin Seksinya untuk menghadapi jangan sampai mendarat. Dengan kekuatan dua regu yang bersenjatakan campuran dan diperkuat satu pucuk PSU kaliber 7 mm dan satu pucuk MG kaliber 7,7 mm dapat membalas tembakan-tembakan dari tiga tank amphibi tersebut.
Karena kekuatan senjata yang tidak seimbang terpaksa sebagian regunya diperintahkan untuk mundur dan melindungi sebagian regu lainnya dibawah pimpinan Letnan R. Mohammad Ramli yang menpertahankan pintu masuk dari Pier Timur dengan bersenjatakan pistol, keris dan pedang.
Dalam mempertahankan pintu Pier Timur tersebut, Letnan R. Mohammad Ramli dengan sebagian anggota regunya tetap melakukan tembak-menembak dengan tank amphibi terdepan dan akhirnya Letnan R. Mohammad Ramli berusaha naik ke atas tank amphibi dan tertembak sehingga gugur.
Di lain pos-pos pertahanan di daerah Pelabuhan DKA sebelah Barat mereka masih dapat melakukan perlawanan-perlawanan sehingga pihak Belanda tidak meneruskan penyerangannya lebih jauh ke daratan di Kamal. Dan sekitar pukul 13:00 tentara Belanda kembali ke Surabaya.
Almarhum R. Mohammad Ramli telah gugur, atas permintaan keluarganya (Ayah dan Ibunya) dimakamkan di pemakaman Asta Tinggi Sumenep, makam keluarga raja-raja Sumenep.
KERUGIAN KITA DALAM PERTEMPURAN KAMAL
Personel yang gugur :
  1. Letnan Satu R. Mohommad Ramli
  2. Letnan Abdullah (Sampang)
  3. Letnan Singosastro (Bangkalan)
  4. Tamtama Timbang (Kamal)
  5. Tamtama Bunadin (Kamal)
  6. Tamtama Reken (Kamal)
  7. Tamtama Lawi (Kamal)
  8. Tamtama Jalal (Kamal)
  9. Tamtama Munir (Kamal)
Personel yang luka :
  1. Letnan Saleh (Sumenep)
  2. Letnan Haris (Sumenep)
  3. Tamtama Kasidin (Kamal)
  4. Tamtama Hanan (Kamal)
  5. Tamtama Junus (Kamal)
  6. Tamtama Na’im (Kamal)
  7. Pimpinan DKA Sarmani (Surabaya)
  8. Tamtama yang namanya tidak dikenal (Ketapang/Sampang)
Materiil yang dirampas :
  1. MG kaliber 7,7 mm, satu pucuk
  2. Mesin Tulis
  3. Kendaraan Sedan
  4. Barang-barang milik Kepolisian Kamal
Belanda dapat menangkap empat orang yang masing-masing bernama :
  1. Norimin, berasal dari Desa Baturubuh Kecamatan Kamal
  2. Marzuki, berasal dari agency Kamal
  3. Pak Ramjis, berasal dari Desa Kamal
  4. Pak Roji, bersak dari Desa Kamal
KERUGIAN TENTARA BELANDA
Dari pihak Belanda tidak diketahui berapa jumlah yang jatuh korban, dan menurut keterangan beberapa orang korban, mereka diangkut dan dimasukkan ke dalam tank amphibi.
GUGURNYA LETNAN SINGOSASTRO DI PELABUHAN DKA KAMAL
Batalyon III dari Resimen 35 (Resimen 5 Madura barat) yang berkedudukan di kamal bermarkas di Rumah Dinas DKA Kamal, telah menempatkan senjata mitraliurnya di pertigaan sebelah Barat Masjid Jamik Kamal. Senjata tersebut dipertanggungjawabkan kepada Letnan Hasiri dan anggotanya, antara lain Kopral Wani dengan beberapa anggota lainnya.
Mitraliur itu diarahkan ke Timur untuk menjaga kemungkinan datangnya musuh yang diperkirakan menyerang dari arah Timur. Letnan Singosastro yang dibantu oleh Kopral Buhari dan Amrun ditugaskan untuk penarikan bom-bom tarik yang ditanam sebelumnya, berada disebelah Barat pertahanan Letnan Hasiri tersebut, dan penanaman bom-bom itu telah menjadi siasat pertahanan pantai untuk mencegah sewaktu-waktu musuh mengadakan pendaratan atau pengintaian di pantai.
Sebelum pendaratan tentara Belanda dimulai, mereka telah mengeluarkan tembakan gencar dari laut. Dan saat terjadinya tembakan tersebut, Letnan Abdullah pada waktu itu berada di sekitar Stasiun DKA Kamal untuk pulang ke Pamekasan dan ia sempat menanyakan kepada Kopral Buhari yang sedang bersiap-siap untuk penarikan bom-bom. Dengan terjadinya serangan tersebut Letnan Abdullah masih berkeinginan untuk melihatnya dan tidak lama kemudian tentara Belanda telah berada di muka pertahanan dengan bergerak maju di dekat gerbong kereta api dengan mengeluarkan tembakan menuju ke pertahanan kita.
Dengan terjadinya serangan tersebut mitraliur yang semula digerakkan ke Timur diubah arahnya ke Selatan dan terus mengadakan tembakan pembalasan terhadap serangan tentara Belanda sampai kehabisan peluru. Sedang Letan Singosastro sendiri pada waktu itu sedang sibuk untuk meledakkan bom-bomnya, namun kesemuanya tidak meledak tanpa diketahui sebabnya. Letnan Singosastro dengan gagalnya bom-bom yang tidak meledak itu dengan segala upaya masih sempat minta sisa granat dari Kopral Buhari dan granat dilemparkan ke sasaran musuh namun granat itu tidak meledak juga, dan Letnan Singosastro dalam keadaan panik masih berteriak ke bagian mitraliur yang sedang kehabisasn peluru untuk melanjutkan tembakannya sampai ia tertembak oleh musuh dan meninggal ditempat.
Letnan Hasiri sendiri selaku penanggung jawabdari mitraliur masih sempat mengundurkan diri termasuk para anggotanya yang lain ke jurusan Utara untuk bergabung dengan Markas Batalyonnya. Tentara Belanda masih terus melanjutkan serangannya ke Utara disekitar rel kereta api untuk menguasai daerah pertahanan Kamal.
Adanya korban dipihak kita sebagaimana tersebut diatas dan jenazahnya dikebumikan di Pongkoran dekat dengan Stasiun Kereta Api (sekarang dipindah di Taman Makam Pahlawan Jl. Soekarno Hatta Bangkalan).
Sehari setelah peristiwa Letnan Ramli dan Letnan Singosastro itu, Belanda datang kembali ke Kamal dengan Komandan Mayor Smith beserta stafnya dan sempat berunding dengan satu Tim yang diketuai oleh Kahar Sosrodanukusumo sebagai Utusan Pemerintah Madura dengan para anggota R.A. Ruslan Cakraningrat, Mr. Sis Cakraningrat, R. Abdul Rasyid dan Zainal Alim. Pemintaan Belanda untuk melakukan barter dengan Pemerintah Madura ditolak mentah-mentah oleh Tim.
Sejak itu Belanda memperhebat gangguan provokasi dan memperkuat blokade ekonomi. Pada bulan Pebruari 1947, satu pleton tentara Belanda mendarat di Kamal lagi dan melancarkan tembakan-tembakan gencar terhadap Markas Tentara Nasional Indonesia setempat. Batalyon Imbran sejak itu bubar dan daerah Batuporron, Kamal dan Tanjung Piring diambil alih pertahanannya oleh Batalyon Hanafi (disebut Batalyon I Resimen 35).
Dikutip dari : Buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura

Dewan Banteng dan PRRI

WALAUPUN antara Dewan Banteng yang dibentuk tanggal 20 Desember  1956, 52 tahun yang lalu, dan Pemerintah  Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamirkan oleh Dewan Perjuangan (bukan oleh Dewan Banteng) tanggal 15 Pebruari 1958, 50 tahun yang lalu, ibarat mata uang logam yang satu sisinya hampir sama dengan sisinya yang lain, namun berbeda tujuan, “seiring batuka jalan”.
Maksudnya walaupun Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng di satu sisi, tetapi di sisi lain Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang memproklamasikan PRRI. Dewan Banteng dibentuk bertujuan untuk membangun Daerah sedangkan PRRI membentuk Pemerintahan tandingan melawan Pemerintah Jakarta yang sah waktu itu.
Gagasan membentuk Dewan Banteng timbul di Jakarta pada 21 September 1956 dari sejumlah Perwira Aktif dan Perwira Pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah dulu setelah mereka melihat nasib dan keadaan tempat tinggal para prajurit yang dulu berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam perang Kemerdekaan melawan Belanda tahun 1945 -1950, keadaan Kesehatan amat sederhana, anak-anak mereka banyak yang menderita penyakit dan kematian.
Ada asrama yang ditinggalkan oleh KNIL (tentera Belanda), akan tetapi tidak mencukupi, karena jumlah mereka yang banyak. Para perwira aktif dan perwira pensiunan dari eks. Divisi Banteng juga melihat nasib masyarakat yang semakin jauh dari janji-janji dalam perang Kemerdekaan, hidup mereka semakin susah,tidak bertemu janji keadilan dan kemakmuran bersama itu.Pemerintah Pusat lebih mementingkan Daerah Pulau Jawa ketimbang Daerah diluar pulau Jawa dalam hal pembagian “kue” pembangunan, sedang daerah di luar pulau Jawa adalah penghasil devisa yang terbanyak.
Pertemuan sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan eks. Divisi Banteng di Jakarta itu kemudian dilanjutkan dengan mengadakan Reuni di Padang dari perwira-perwira aktif dan pensiunan eks. Divisi Banteng pada tanggal 20 –24 Nopember 1956 yang pada pokoknya membahas masaalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah. Reuni yang dihadiri oleh sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan dari eks. Divisi Banteng itu akhirnya membuat sejumlah keputusan yang kemudian dirumuskan di dalam tuntutan Dewan Banteng.
Untuk melaksanakan keputusan-keputusan Reuni itu,maka dibentuklah suatu Dewan pada tanggal 20 Desember 1956 yang dinamakan “ Dewan Banteng”mengambil nama Banteng dari Divisi Banteng yang sudah dibubarkan. Di dalam perang Kemerdekaan tahun 1945 -1950 melawan Belanda dulu di Sumatera Tengah dibentuk sebuah Komando militer yang dinamakan dengan Komando Divisi IX Banteng.
Sesudah selesai perang Kemerdekaan dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1950, maka Komando Divisi Banteng ini diciutkan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke luar Sumatera Tengah seperti ke Pontianak, Ambon, Aceh dan Jawa Barat. Pengalaman yang sangat menyedihkan dialami oleh Batalyon “Pagar Ruyung” yang sesudah bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukannya dilebur ke dalam Divisi Siliwangi dan hubungan dengan induk pasukannya Divisi Banteng diputus.
Terjadi berbagai hal sehingga ada yang meninggal dunia dan ditahan. Komando Divisi Banteng makin lama makin diciutkan, sehingga akhirnya tinggal satu Brigade yang masih memakai nama Brigade Banteng, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein. Kemudian pada bulan April 1952 Brigade Banteng diciutkan menjadi satu Resimen yang menjadi Resimen Infanteri 4 di dalam Komando Tentera Teritorium (TT) I Bukit Barisan (BB) di bawah Komando Panglimanya Kolonel Simbolon.Letkol. Ahmad  Husein diangkat kembali menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB itu.
Pemecahan Batalion-batalion dan pembubaran Komando Divisi Banteng itu
menimbulkan bibit-bibit dendam dari para pejuang perang Kemerdekaan melawan Belanda yang bernaung di bawah panji-panji Divisi Banteng itu. Pengurus Dewan Banteng terdiri dari 17 orang, yang terdiri dari 8 orang perwira aktif dan pensiunan, 2 orang dari Kepolisian dan 7 orang lainnya dari golongan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.
Lengkapnya susunan Pengurus Dewan Banteng itu adalah : Ketua,Letkol, Ahmad Husein,Komandan Resimen Infanteri 4, Sekretaris Jenderal Mayor (Purn)Suleman, Kepala Biro Rekonstruksi Nasional Sumatera Tengah, sedangkan anggota-anggotanya adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa, Kepala Polisi Sumatera Tengah, Sutan Suis, Kepala Polisi Kota Padang, Mayor Anwar Umar, komandan Batalion 142 Resimen 4. Kapten Nurmatias Komandan Batalyon 140, Resimen Infanteri 4. H. Darwis Taram Dt. Tumanggung, Bupati 50 Kota, Ali Luis Bupati d/p di Kantor Gubernur Sumatera Tengah, Syekh Ibrahim Musa Parabek Ulama, Datuk Simarajo, Ketua Adat (MTKAAM).
Kolonel (Purn) Ismael Lengah, Letkol (Purn) Hasan Basri (Riau), Saidina Ali Kepala Jawatan Sosial Kabupaten Kampar, Riau, Letnan Sebastian Perwira Distrik Militer 20 Indragiri, Riau, A. Abdulmanaf, Bupati Kabupaten Merangin, Jambi, Kapten Yusuf Nur, Akademi Militer, Jakarta dan Mayor Syuib, Wakil Asisten II Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta.
Selain itu Dewan Banteng didukung oleh segenap Partai Politik, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), juga didukung oleh segenap lapisan masyarakat seperti para pemuda, alim ulama, cadiak pandai, kaum adat sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar